
Risiko investasi saham itu ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada potensi cuan besar. Tapi di sisi lain, ada risiko yang bisa bikin dompet jebol kalau nggak hati-hati. Gue pribadi udah lebih dari 15 tahun nyemplung di dunia saham, dan udah ngerasain asam-garamnya. Mulai dari saham yang tiba-tiba jeblok, sampai panik jual di saat yang salah. Nah, biar lo nggak ngalamin hal yang sama, yuk kita bahas satu-satu jenis risiko investasi saham dan cara cerdas ngadepinnya.
1. Risiko Pasar – Fluktuasi Harga yang Tak Terduga
Risiko investasi saham yang paling umum dan sering bikin deg-degan adalah risiko pasar. Ini tuh terjadi karena harga saham bisa naik-turun secara drastis gara-gara sentimen, kondisi ekonomi, sampai isu global. Bayangin aja, lo udah beli saham dengan analisa matang, eh dua hari kemudian ada berita geopolitik yang bikin IHSG anjlok.
Penyebab Risiko Pasar
Ada beberapa penyebab kenapa pasar bisa gonjang-ganjing:
- Berita Ekonomi Global: Misalnya, suku bunga The Fed naik atau ada perang dagang antar negara besar.
- Data Ekonomi Domestik: Inflasi, pengangguran, atau pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ngaruh.
- Sentimen Investor: Bisa karena euforia atau kepanikan massal. Kadang nggak masuk akal, tapi beneran kejadian.
Contoh nyata? Pandemi 2020. Banyak saham blue chip yang harganya turun lebih dari 50% dalam waktu singkat. Bukan karena fundamental jelek, tapi karena kepanikan pasar.
Cara Mengurangi Risiko Pasar
Gimana dong ngadepin risiko pasar? Nih beberapa jurus jitu yang biasa gue pake:
- Diversifikasi Portofolio
Jangan taruh semua telur di satu keranjang. Sebar ke beberapa sektor berbeda. Kalau satu sektor jeblok, yang lain bisa jadi penopang. - Pakai Strategi Dollar Cost Averaging (DCA)
Beli rutin tiap bulan dengan nominal tetap. Dengan cara ini, lo beli di harga rata-rata, bukan cuma pas mahal. - Analisis Teknikal + Fundamental
Gabungkan keduanya. Jangan cuma ngandelin feeling atau “kata teman”. - Tahan Ego & Punya Rencana
Banyak investor gagal karena nggak siap mental. Pas harga turun, panik. Pas naik, serakah. Padahal harusnya dibalik: beli pas takut, jual pas rakus.
Ingat, pasar memang nggak bisa ditebak. Tapi, dengan persiapan dan strategi yang tepat, lo bisa “bersahabat” sama risiko ini dan tetap untung dalam jangka panjang.
2. Risiko Likuiditas – Saat Saham Sulit Diperjualbelikan
Risiko ini sering banget diremehin, terutama sama investor pemula. Likuiditas itu sederhananya: seberapa gampang lo bisa jual saham lo di pasar. Kalau sahamnya nggak likuid, bisa jadi lo nggak bisa jual dengan harga yang lo mau, atau bahkan susah banget dapet pembeli.
Ciri Saham dengan Likuiditas Rendah
- Volume Transaksi Harian Rendah: Biasanya cuma ratusan lot yang berpindah tangan.
- Spread Harga Lebar: Selisih harga jual dan beli terlalu jauh.
- Jarang Masuk Radar Analis atau Media: Nggak populer, nggak dibahas, sepi.
Biasanya, saham-saham seperti ini ada di papan pengembangan atau akselerasi BEI. Tapi jangan salah, beberapa saham di papan utama juga ada yang likuiditasnya memprihatinkan.
Tips Memilih Saham yang Likuid
- Cek Volume & Frekuensi Transaksi
Idealnya, pilih saham yang rata-rata volume hariannya di atas 1 juta lot. - Pilih Saham LQ45 atau IDX30
Ini adalah saham-saham pilihan BEI dengan likuiditas dan kapitalisasi pasar yang tinggi. - Perhatikan Market Depth di Aplikasi Sekuritas
Lihat seberapa banyak antrian beli dan jual di level harga berbeda. - Jangan Terjebak Harga Murah
Banyak saham murah tapi nggak ada yang beli. Murah belum tentu menguntungkan kalau susah jualnya.
Likuiditas itu kayak oksigen. Mungkin lo nggak sadar pentingnya sampai lo kehabisan. Jadi, selalu periksa sebelum masuk.
3. Risiko Emiten – Performa Perusahaan Menurun
Ini salah satu risiko investasi saham yang paling penting tapi sering diabaikan: risiko emiten. Karena ujung-ujungnya, yang lo beli itu bukan cuma harga di layar, tapi kepemilikan di perusahaan.
Indikator Risiko Fundamental Emiten
- Penurunan Laba Bersih
Kalau laba bersih terus turun dari tahun ke tahun, itu sinyal bahaya. - Rasio Utang Tinggi
Debt to Equity Ratio (DER) terlalu tinggi artinya perusahaan rentan gagal bayar. - Manajemen Bermasalah
Ada kasus hukum, konflik internal, atau pergantian direksi yang mencurigakan. - Tidak Konsisten Membayar Dividen
Kalau dulu royal dividen, sekarang tiba-tiba stop tanpa alasan jelas? Waspada!
Gue pribadi selalu ngelihat laporan keuangan minimal 3 tahun terakhir sebelum beli saham apa pun. Performa masa lalu emang nggak jaminan masa depan, tapi jadi gambaran stabilitasnya.
Strategi Diversifikasi Emiten
- Sebar di 5–10 Emiten dari Berbagai Sektor
Jangan cuma pegang satu emiten doang. Kalau perusahaan itu kena masalah, portofolio lo langsung berdarah. - Fokus ke Sektor yang Lo Paham
Punya pemahaman tentang industri tempat emiten itu beroperasi membantu lo nilai risiko lebih jernih. - Rutin Review Kinerja Emiten
Setiap kuartal, buka lagi laporan keuangan. Jangan malas.
Risiko emiten itu bukan hal yang bisa lo cegah 100%, tapi bisa banget diminimalkan dengan riset mendalam dan pantauan berkala.
4. Risiko Inflasi – Nilai Uang Tergerus Waktu
Inflasi itu kayak pencuri diam-diam. Mungkin lo nggak sadar langsung, tapi lama-lama nilai uang lo makin kecil. Dalam konteks risiko investasi saham, inflasi bisa menggerus daya beli dan berdampak ke performa saham secara keseluruhan.
Dampak Inflasi terhadap Nilai Saham
- Kenaikan Biaya Operasional
Perusahaan jadi harus bayar bahan baku, gaji, dan ongkos lain yang lebih mahal. - Daya Beli Konsumen Menurun
Produk yang dijual perusahaan jadi lebih sulit laku, terutama yang bukan kebutuhan primer. - Investor Beralih ke Instrumen Lebih Aman
Misalnya obligasi atau emas. Saham bisa ditinggal sementara.
Namun, ada juga sektor yang diuntungkan dari inflasi. Contohnya, sektor komoditas seperti energi, tambang, dan agribisnis seringkali justru perform karena harga jual produk mereka naik.
Instrumen Lindung Nilai Inflasi
- Saham Sektor Komoditas
PTBA, ADRO, LSIP biasanya cukup tahan banting saat inflasi tinggi. - Reksa Dana Pendapatan Tetap dengan Obligasi Inflasi
Ada jenis obligasi yang “ikut naik” saat inflasi naik, seperti ORI atau SBN tertentu. - Diversifikasi ke Emas
Logam mulia ini udah terbukti jadi “teman baik” saat inflasi menggila.
Inflasi itu pasti ada. Kita cuma bisa adaptasi dan sesuaikan portofolio. Jangan tunggu nilainya benar-benar tergerus baru panik.
5. Risiko Suku Bunga – Bunga Naik, Saham Turun
Suku bunga naik biasanya bikin harga saham tertekan. Kenapa? Karena investor cenderung memilih instrumen berisiko rendah seperti deposito, apalagi kalau return-nya mulai menyaingi potensi keuntungan saham.
Korelasi Suku Bunga dan Saham
- Biaya Pinjaman Naik
Perusahaan yang banyak utang akan tertekan karena bunga pinjamannya naik. - Return Obligasi & Deposito Meningkat
Investor ritel dan institusi bisa pindah ke aset tersebut karena risikonya lebih kecil. - Konsumsi Melambat
Kredit konsumen, seperti KPR dan kartu kredit jadi lebih mahal. Efeknya ke daya beli masyarakat.
Saham-saham sektor properti, ritel, dan otomotif biasanya paling terdampak kalau suku bunga BI naik.
Cara Menyesuaikan Portofolio saat Suku Bunga Naik
- Pindahkan Sebagian Dana ke Saham Dividen Tinggi
Seperti TLKM, UNVR, atau BBRI. Dividen bisa jadi kompensasi saat harga stagnan. - Kurangi Eksposur ke Saham Sektor Konsumsi & Properti
Setidaknya sampai kondisi suku bunga stabil kembali. - Tetap Pegang Cash atau Dana Tunai
Buat averaging down saat koreksi harga terjadi. Cash is king di masa ketidakpastian.
Penting buat lo selalu update kalender ekonomi. Keputusan BI terkait suku bunga biasanya diumumkan tiap bulan. Jangan sampai ketinggalan!
6. Risiko Valuasi – Saat Harga Saham Terlalu Mahal
Risiko investasi saham satu ini sering banget menjebak, terutama saat pasar lagi bullish. Banyak investor tergoda beli saham yang lagi naik terus, padahal valuasinya udah nggak masuk akal. Ini yang disebut risiko valuasi — ketika harga saham jauh melampaui nilai wajarnya.
Tanda-Tanda Saham Overvalued
- Rasio PER dan PBV Tinggi Banget
Misalnya PER di atas 30x tanpa justifikasi pertumbuhan laba yang sebanding. - Harga Melambung Jauh dari Rata-Rata Historis
Kalau chart harga saham udah terlalu “mengawang”, waspadai potensi koreksi. - Sentimen Pasar Terlalu Euforia
Banyak saham naik bukan karena fundamental, tapi cuma karena FOMO atau tren sesaat. - Volume Transaksi Meningkat Tajam Secara Tiba-Tiba
Bisa jadi sinyal distribusi oleh big player yang mau “buang barang”.
Sering banget gue lihat investor beli saham yang udah naik 300% dalam 6 bulan, berharap naik lagi. Padahal potensi koreksi lebih besar daripada upside-nya.
Tools Analisis Valuasi Saham
- Bandingkan PER dan PBV dengan Rata-Rata Sektornya
Jangan bandingkan semua saham secara general. Bandingkan dengan yang satu industri. - Gunakan Analisa DCF (Discounted Cash Flow)
Buat investor serius, ini metode valuasi paling akurat untuk nilai intrinsik. - Manfaatkan Screener Saham di Aplikasi Sekuritas
Beberapa platform punya fitur filter saham undervalued secara otomatis. - Pantau Laporan Keuangan dan Proyeksi Pertumbuhan
Apakah valuasi mahal itu didukung oleh potensi laba di masa depan?
Solusinya bukan langsung menghindari saham mahal, tapi pahami dulu apakah “mahal” itu layak atau tidak. Harga mahal kadang wajar kalau pertumbuhannya juga luar biasa. Tapi kalau cuma karena euforia? Mending hindari.
7. Risiko Psikologis – Emosi Mengganggu Keputusan
Nah ini dia, risiko investasi saham yang paling nggak kelihatan tapi efeknya bisa luar biasa: psikologis. Banyak investor gagal bukan karena analisa salah, tapi karena dikendalikan emosi. Takut, rakus, panik — semua bisa bikin lo salah ambil keputusan.
Bias Umum Investor Pemula
- Loss Aversion
Takut rugi, akhirnya nahan saham yang terus turun tanpa batas. - Overconfidence
Baru untung dikit langsung ngerasa jago. Padahal belum diuji di market crash. - Herd Mentality
Ikut-ikutan beli tanpa paham kenapa saham itu naik. - Anchoring Bias
Nggak mau jual saham rugi karena “dulu belinya lebih mahal”.
Gue dulu juga gitu. Beli saham karena teman rekomendasi, pas turun malah tambah beli (averaging down) padahal fundamentalnya makin jelek. Ujung-ujungnya cut loss juga.
Cara Mengontrol Emosi Saat Trading
- Punya Trading Plan dan Aturan Jelas
Tentukan batas rugi (stop loss) dan target untung sebelum beli. - Gunakan Jurnal Investasi
Catat semua alasan beli-jual, supaya bisa evaluasi diri. - Meditasi Finansial
Nggak harus literal meditasi, tapi belajar untuk tenang dan nggak impulsif. - Batasi Cek Aplikasi Saham
Kalau lo nggak kuat mental liat harga naik turun, stop pantau tiap menit. Pantau mingguan cukup.
Investasi itu bukan sprint, tapi marathon. Mental dan disiplin lebih penting dari sekadar jago baca chart.
8. Risiko Regulasi – Aturan Baru Bisa Guncang Pasar
Kadang-kadang, risiko datang dari tempat yang nggak lo sangka: pemerintah. Yup, perubahan aturan atau regulasi bisa bikin saham anjlok seketika, terutama yang berkaitan langsung dengan industri tertentu.
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Bursa
- Kebijakan Pajak Baru
Contohnya pajak dividen, atau PPN atas transaksi digital. Bisa menurunkan minat investor. - Subsidi Dicabut atau Dibatasi
Emiten sektor energi, infrastruktur, atau pertanian bisa terguncang. - Perubahan Aturan Investasi Asing
Bisa bikin asing cabut modal besar-besaran, IHSG pun ikut guncang.
Contoh nyata: waktu pemerintah melarang ekspor nikel, banyak saham tambang langsung turun tajam karena proyeksi pendapatannya terganggu.
Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Regulasi
- Ikuti Berita dari BEI dan OJK Secara Rutin
Jangan sampai ketinggalan aturan baru yang bisa berdampak pada saham lo. - Pantau Sektor Tertentu yang Rentan Regulasi
Misalnya perbankan, energi, dan infrastruktur. - Lakukan Diversifikasi Negara (Global Investing)
Kalau memungkinkan, alokasikan sebagian dana ke saham luar negeri.
Regulasi itu di luar kendali kita, tapi kita bisa memitigasi dampaknya dengan cepat adaptasi dan pantau terus perkembangan terbaru.
9. Risiko Mata Uang – Terutama untuk Emiten Ekspor
Buat lo yang pegang saham ekspor atau impor, risiko investasi saham dari fluktuasi kurs mata uang itu nyata banget. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa bikin laba perusahaan melambung atau anjlok drastis.
Fluktuasi Kurs dan Dampaknya
- Saham Ekspor (Positif Jika Dolar Naik)
Contoh: perusahaan batubara, CPO, tekstil. Kalau rupiah melemah, mereka untung karena pendapatan dolar lebih besar. - Saham Impor (Negatif Jika Dolar Naik)
Contoh: sektor otomotif, farmasi, dan elektronik. Bahan baku impor jadi lebih mahal. - Utang dalam Dolar
Perusahaan yang punya utang luar negeri bisa terbebani saat rupiah melemah.
Penting untuk tahu sumber pendapatan dan biaya operasional emiten — dalam rupiah atau dolar? Ini bisa jadi indikator utama seberapa sensitif mereka terhadap kurs.
Saham yang Paling Rentan Terhadap Kurs
- ADRO, PTBA, ITMG (positif saat dolar naik)
- UNTR, INDF, GGRM (negatif jika bahan baku impor mendominasi)
Tips gue? Kalau rupiah lagi lemah, mending perkuat porsi saham ekspor. Tapi jangan juga terlalu fokus ke satu sektor. Balik lagi ke diversifikasi.
10. Risiko Teknologi – Perubahan Cepat dalam Industri
Dunia bisnis berubah cepet banget. Perusahaan yang dulu dominan bisa kalah saing kalau nggak adaptif. Ini yang disebut risiko teknologi. Inovasi baru bisa menggeser model bisnis lama dalam hitungan tahun, bahkan bulan.
Disrupsi Digital dan Nasib Emiten Tradisional
- Ritel Fisik vs E-commerce
Saham ritel konvensional kayak RALS dan MAPI sempat terpukul karena serbuan e-commerce. - Transportasi Konvensional vs Ride-Hailing
Emiten transportasi tradisional tergeser oleh Gojek, Grab, dsb. - Bank Tradisional vs Fintech
Bank kecil banyak yang kewalahan bersaing dengan layanan pinjaman online dan e-wallet.
Kalau lo pegang saham di sektor-sektor ini, penting banget pantau inovasi terbaru. Jangan sampai portofolio lo berisi “dinosaurus” yang udah ketinggalan zaman.
Mengantisipasi Risiko Teknologi dalam Saham
- Pilih Emiten yang Agile dan Inovatif
Misalnya, bank yang aktif digitalisasi (BBRI, ARTO), ritel yang hybrid online-offline. - Pantau Tren Konsumen dan Teknologi Global
Apa yang terjadi di AS biasanya jadi sinyal awal di Indonesia. - Hindari Emiten yang Terlalu Bergantung pada Model Lama
Kalau mereka stagnan dan nggak adaptif, lebih baik ditinggalin.
Perubahan teknologi nggak bisa dihindari. Tapi kalau lo bisa nangkep trennya lebih awal, justru bisa jadi peluang cuan.
11. Cara Membangun Portofolio Anti Risiko
Setelah kita bahas berbagai jenis risiko investasi saham, lo pasti sadar: nggak ada saham yang benar-benar bebas risiko. Tapi tenang, bukan berarti lo nggak bisa ngurangin dampaknya. Kuncinya ada di cara bangun portofolio yang cerdas dan tahan banting.
Prinsip Diversifikasi yang Efektif
- Sebar Investasi ke Berbagai Sektor
Jangan cuma pegang saham di satu industri. Misalnya: gabungkan sektor perbankan, konsumsi, tambang, dan teknologi. - Gabungkan Saham Blue Chip & Second Liner
Blue chip biasanya stabil, second liner punya potensi pertumbuhan tinggi. - Alokasi Sesuai Tujuan dan Profil Risiko
Misal: 50% saham konservatif (dividen tinggi), 30% saham pertumbuhan, 20% cash/emas. - Gunakan Rasio Risiko/Imbal Hasil (Risk-Reward)
Jangan kejar return tinggi kalau risikonya jauh lebih besar dari potensi cuan.
Gue pribadi pakai pendekatan 3 pilar: saham jangka panjang, saham swing trading, dan cash cadangan. Ini bikin portofolio lebih fleksibel dan tahan guncangan.
Manajemen Risiko ala Investor Profesional
- Tentukan Stop Loss & Take Profit Sejak Awal
Jangan tunggu panik baru mikir mau jual atau tahan. Disiplin itu kunci. - Rebalancing Rutin Tiap Kuartal
Evaluasi apakah komposisi portofolio masih sesuai dengan kondisi pasar terbaru. - Belajar dari Kesalahan & Catat Prosesnya
Jurnal investasi itu bukan cuma buat dokumentasi, tapi buat ngaca dan berkembang. - Hindari Overexposure di Satu Saham
Sekeren apa pun sahamnya, jangan taruh lebih dari 20–25% portofolio di satu emiten.
Portofolio yang solid bukan yang 100% cuan terus, tapi yang tetap stabil bahkan saat badai pasar datang.
12. Kesalahan Umum yang Memperbesar Risiko Investasi
Kadang bukan pasarnya yang salah, tapi cara kita ngadepinnya. Banyak banget investor pemula yang justru memperbesar risiko karena kesalahan dasar yang harusnya bisa dihindari.
Overtrading dan FOMO
- Terlalu Sering Beli-Jual Tanpa Rencana
Ini bikin biaya transaksi numpuk, belum lagi potensi salah langkah karena keputusan terburu-buru. - Takut Ketinggalan (FOMO)
Beli saham yang udah naik tinggi cuma karena rame dibicarain. Ini perangkap klasik. - Sering Ganti Strategi Investasi
Hari ini value investing, besok scalping, lusa swing trading. Nggak ada konsistensi = hasil juga kacau.
Gue pernah ngalamin semua ini. Untungnya, gue sadar cepat dan balik ke strategi yang teruji.
Kurang Riset dan Asal Ikut-Ikutan
- Cuma Ngikutin Grup Telegram/WhatsApp
Boleh ambil referensi, tapi jangan jadikan satu-satunya alasan beli. - Nggak Baca Laporan Keuangan & Berita Emiten
Padahal itu sumber utama informasi valid. - Mengabaikan Risiko Karena Terlalu Optimis
Optimis boleh, tapi harus realistis. Jangan buta terhadap potensi kerugian.
Solusinya? Bangun kebiasaan belajar mandiri. Jangan malas riset, dan latih insting analisis sendiri.
13. Tips Investasi Saham Jangka Panjang yang Aman
Kalau tujuan lo bukan trading cepat, tapi pengen tumbuhin aset secara stabil dalam jangka panjang, ada beberapa strategi yang bisa bantu lo tetap cuan sambil tidur nyenyak.
Pilih Saham Blue Chip dan Sektor Tahan Krisis
- Saham Blue Chip
Misalnya: BBRI, TLKM, UNVR, ASII. Perusahaan besar, mapan, dan terbukti bertahan di berbagai krisis. - Sektor Tahan Krisis
Konsumsi (makanan-minuman), kesehatan, dan infrastruktur cenderung stabil saat ekonomi gonjang-ganjing. - Fokus pada Dividen
Pilih saham yang rajin bagi dividen. Ini bisa jadi “gaji pasif” buat investor jangka panjang.
Rutin Evaluasi dan Review Portofolio
- Pantau Performa Emiten Tiap Kuartal
Jangan cuma lihat harga, tapi cek apakah laba tumbuh, utang terkendali, dan manajemen tetap solid. - Rebalancing Sesuai Perubahan Tujuan Hidup
Misalnya lo mulai butuh dana buat nikah atau beli rumah, sesuaikan proporsi investasi. - Konsisten Nabung Saham
Beli rutin setiap bulan, apapun kondisi pasar. Ini bikin lo dapat harga rata-rata yang optimal.
Investasi saham jangka panjang bukan soal cari saham yang “bakal meledak”, tapi tentang bangun portofolio yang konsisten tumbuh dan stabil.
Kesimpulan – Risiko Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Dikelola
Investasi saham itu bukan buat yang cari “uang cepat”. Ada banyak risiko, mulai dari risiko pasar sampai risiko psikologis. Tapi semua itu bisa dikelola kalau lo ngerti cara mainnya.
Kuncinya ada di:
- Riset yang kuat
- Strategi yang jelas
- Emosi yang stabil
- Portofolio yang terdiversifikasi
Jangan tunggu sempurna baru mulai. Mulai aja dulu dengan modal ilmu yang cukup dan mindset panjang. Ingat, bahkan Warren Buffett pun pernah rugi — tapi dia tetap untung karena punya sistem yang disiplin dan sabar.
FAQ
1. Apa saja risiko utama dalam investasi saham?
Risiko pasar, likuiditas, emiten, inflasi, suku bunga, psikologis, dan regulasi adalah beberapa risiko utama yang perlu diperhatikan.
2. Bagaimana cara pemula menghadapi fluktuasi harga saham?
Gunakan strategi dollar cost averaging, fokus pada saham blue chip, dan hindari pantau harga terlalu sering.
3. Apakah risiko psikologis bisa mempengaruhi hasil investasi?
Iya, bahkan bisa jadi faktor penentu utama. Emosi seperti panik dan serakah sering bikin keputusan salah.
4. Apakah inflasi berdampak langsung ke saham?
Tentu. Inflasi bisa menggerus margin laba perusahaan dan menurunkan daya beli masyarakat.
5. Apa strategi jitu untuk meminimalkan risiko investasi?
Diversifikasi, punya trading plan, rutin evaluasi portofolio, dan selalu update informasi pasar.
Rekomendasi Artikel Lainnya
Baca juga: 7 Kesalahan Umum saat Belajar Investasi Saham Pemula